Bisnis Baju Muslim, dari Red Ocean to Blue Ocean

Sebagai new comer dalam industri garmen baju muslim, saya mendapat
banyak pelajaran. Setidaknya dari mulai mengenal, mendalami dan
menghayati.


Semua ini terjadi karena action, saya ndak tahu seandainya saya ndak
action masuk kedalam industri garmen, barangkali tak banyak yang saya
tahu tentang industri ini.

Industri garmen memang memiliki siklus, siklus booming terjadi dua bulan
menjelang lebaran, dan siklus sepi paska lebaran. Naik lagi saat lebaran
haji, dan kemudian melemah lagi saat paska haji hingga menjelang
ramadhan.


Pertanyaan menarik, bagaimana seorang pengrajin baju muslim bisa hidup.
Mereka biasanya saat musim sepi melakukan 'puasa'. Dan saat musim ramai
mereka menggenjot produksi. Nah, dari omset saat ramai inilah mereka
melakukan saving untuk mengantisipasi musim paceklik. Maklum, busana
muslim di Indonesia ini masih masuk kategori musiman.


Bahkan, ada pengrajin busana muslim harus rela banting stir memproduksi
baju-baju umum saat musim sepi. Ini dilakukan, agar tetap berproduksi.

Semua ini terjadi karena mereka bertempur dalam 'red zone', sehingga
yang menjadi keunggulan kompetitif ada pada sisi harga. Mereka terus
menggerus laba dengan menjual semurah mungkin. Pertempuran antar
pengrajin terjadi. Dan siklus itu terus berulang.


Ada beberapa pengrajin yang telah memiliki jam terbang tinggi. Mereka
menghindari pada pertempuran harga dan naik melalui diverensiasi produk.
Dalam rumus pemasaran, jika tidak memiliki diferensiasi, maka yang
terjadi adalah perang harga.


Nah inilah yang coba kita hindari. Perang harga boleh, namun ini bisa
berakibat pengrajin hidup di bawah garis merah dan jika siklus ini terus
berlangsung dapat mencekik pengrajin itu sendiri.


Mari bermigrasi dari 'red ocean' ke 'blue ocean'. Dari berdarah-darah ke
kemakmuran yang berlimpah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 comments: