Berkomunikasi Tanpa Emosi

Satisfied customers tell three friends, angry customers tell 3000.
Itulah judul buku menarik dan berisi tentang betapa pentingnya memuaskan pelanggan yang ditulis oleh Pete Blackshaw. Ironis dan tidak adil memang apa yang akan dilakukan pelanggan terhadap dualitas pelayanan yang dirasakan: memuaskan dan tidak memuaskan itu. Jika puas, mereka akan menyampaikannya secara deret hitung (3). Sementara jika tidak puas, pesan negatif dan destruktif-pun akan menyebar secara deret ukur (3000).

Penyebaran melalui mulut (word of mouth=WOM) ini tidak dapat dibendung. Dan, celakanya, hal ini akan memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap produk/pelayanan/jasa dimaksud. Baru-baru ini ada sebuah hasil survei yang dikeluarkan oleh Octovate Consulting Group tentang WOM ini. Hasil survei itu menyebutkan bahwa 89% konsumen akan membeli barang berdasarkan rekomendasi orang lain. Dapat dibayangkan, jika berita/pesan yang disebarkan bukan termasuk kategori recommended, sudah dapat dipastikan barang/jasa tersebut tidak akan mendapatkan atensi apalagi apresiasi dari orang yang mendengarkan rekomendasi itu. Lebih parah lagi, jika produk/jasa/pelayanan buruk itu menjadi pembicaraan lintas lokasi dan generasi. Dapat dibayangkan, betapa malang nasibnya.

Belakangan ini, bisnis pelayanan antar ke tempat (home delivery service) menjadi sebuah fenomena baru di negeri ini, khususnya di ibukota yang semakin sarat macet. Mulai dari produk makanan sampai dengan jasa pencucian (laundry). Namun sayang, pelayanan yang diberikan kepada calon pelanggan atau pelanggan tetapnya kerap menuai kritik yang muaranya berubah wujud menjadi caci-maki tiada henti.

Surat pembaca di media cetak menjadi saksi kekecewaan dan kemarahan ini. Padahal, jika para penjual jasa menyadari betapa pelanggan yang sakit hati akan bercerita melebihi kisah sesungguhnya dengan muatan bumbu penyedap kisah sedih di hari Minggu yang dialami, tentu mereka akan memasang alat peringatan dini ketika kritikan itu datang. Bukan malah dengan meredam dan menguburnya dalam hati tanpa memberikan solusi. Sebegitu beresikonya sikap pelanggan terhadap masa depan bisnis penjual jasa itu. Kewaspadaan dan reaksi cepat seyogyanya menjadi menu utama dan pertama ketika keluhan itu datang menghampiri. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam komunikasi pelayanan semacam ini. Pertama, dengarkan pesanan/keluhan secara simpatik. Ingat petuah mujarab 'pembeli adalah raja.' Tidak perlu ada perdebatan atau interogasi bertele-tele ketika sebuah pesanan/keluhan disampaikan. Tanyakan dengan simpatik dan empatik dengan suara rendah dan nada kalimat yang tidak meninggi diujungnya.

Ini penting dilatih. Nada yang tinggi akan menyinggung ego pendengarnya. Apalagi yang tengah dilanda kecewa. Kedua, berikan jawaban/solusi terukur. Artinya, harus ada tenggat waktu yang disampaikan. Pesanan akan sampai dalam setengah jam atau masalahnya akan disolusi dalam dua hari dan seterusnya. Kalimat seperti ini akan memberikan ketenangan dan kepastian kepada pelanggan yang memang sedang menunggu jawaban pasti. Banyak keluhan terhadap pelayanan home delivery ini justru karena penjual jasa sering menjanjikan kecepatan pengantaran. Padahal yang terjadi adalah over promise, under deliver. Kebesaran janji daripada pelaksanaan. Jadi, wajar kalau pelanggan menjadi uring-uringan. Apalagi ketika lapar di tengah malam menunggu makanan yang tidak kunjung datang.

Begitu datang, selera makan pun melayang. Ketiga, sampaikan kepada calon/pelanggan bahwa produk/jasa yang dipesan tengah diantarkan ke alamat. Kalimat ini akan memberikan ketenangan psikologis kepada para pelanggan bahwa produk/jasa yang dipesan on the way. Yang artinya, sebentar lagi akan tiba. Walau pun tidak ada jaminan soal itu. Yang jelas, kalimat pendek dari penjual jasa/produk itu telah berhasil menenangkan pemesannya.

Ini yang disebut dengan selling pychology sebagaimana yang dijelaskan oleh Zig Ziglar dalam bukunya, The Psychology of Selling. Bahkan hal ini telah banyak dimanfaatkan oleh para pemasar yang berjanji kepada para calon konsumennya untuk bertemu. Belum pun berjalan menuju ke tempat pertemuan, para marketer itu sudah menyampaikan kepada calon pelanggannya bahwa mereka tengah di jalan (on the way). Padahal mereka masih di tempat lain atau bahkan di rumah! Bayangkan, strategi 'menipu' ini berhasil menenangkan pihak lain secara psikologis. Namun, tentu saja hal ini tidak dianjurkan atas nama integritas diri dan korporasi.

Ketiga hal di atas: mendengarkan dengan simpatik dan empatik, memberikan jawaban/solusi terukur dan menyampaikan status pelayanan yang tengah dikerjakan kepada calon/pelanggan akan mengurai seluruh rasa kecewa yang ada jika hal itu timbul tanpa dapat dicegah. Pemahaman dan pengertian atas pelayanan yang tidak baik pun dapat menjadi kisah indah yang akan diteruskan kepada pihak lain jika pelayanan simpatik dan empatik itu dikedepankan. Mereka dengan bangga akan meneruskan kisah bagaimana penjual jasa/produk terus meng-update informasi kepada mereka atas apa yang tengah dipesannya.

Rasanya, tidak berlebihan jika perusahaan home delivery service di Indonesia mulai memikirkan cara-cara seperti diuraikan di atas jika pelanggan setia dan laba usaha menjadi target utama untuk ditingkatkan. Tidak ada cara lain. Apalagi, dalam era pasar yang semakin sengit dan sempit ini. Semua penjual produk/jasa berlomba-lomba menambah daftar pelanggan dengan berbagai cara. Memberikan potongan harga sampai dengan hadiah. Namun, semuanya itu tidak akan ada artinya, jika komunikasi pelayanan tidak diperbaiki dan ditingkatkan. Survei membuktikan bahwa cara berkomunikasi kepada pelanggan akan memengaruhi niat beli mereka. Produk yang sama bisa didapatkan dimana-mana. Namun, cara penjual berkomunikasi-lah yang akan menentukan keterpilihan produknya. Selamat melayani dengan simpatik dan empatik!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 comments: